Sariamin Ismail, Sastra dan Pendidikan Perempuan
Oleh: Wanda Rahmad Putra
Sariamin Ismail (1990) (Sumber: wikipedia.org)
“Bagaimana kami akan membesarkan anak, kalau kami orang bodoh. Bagaimana
kami akan mengurus rumah tangga yang baik, kalau kami tak tau apa-apa.
Bagaimana kami bisa mengetahui keadaan-keadaan diluar negri, kalau kami tak
bisa baca-tulis”
(Sariamin Ismail, dalam Namaku Selasih (Dokumenter,1930 )
Sinuruik, sebagai sebuah desa bukanlah tempat yang asing bagi
saya. Sebuah desa yang
terdapat di Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat ini adalah tempat
saya tumbuh dan
besar, paling tidak sampai saya SMA.
Tempat saya belajar, bermain dan
melalui masa-masa
remaja. Orang-orang di luar sana mungkin lebih mengenal daerah ini
dengan nama Talu,
memang dua daerah ini satu rumpun yang punya kaitan, namun secara
administratif
sesungguhnya berbeda. Tidak ada tempat yang tidak saya kenali, hampir
setiap sudut desa ini
saya bisa sebutkan di luar kepala. Mulai dari kampung-kampung kecil yang
saling bertetangga,
hamparan sawah dan perbukitan, hingga kaki dan puncak gunung Talamau
yang menjadi
panoramanya. Saya tahu Tuanku Sati dan Tuanku Bosa sebagai pucuak adaik
dari kedua desa,
saya hafal letak makam datuak dan raja-raja dan saya kenal wajah-wajah
orang-orang meskipun
sekedar bertegur-sapa, dan saya juga hafal lagu “Rang Talu” dan “Batang
Sinuruik” sebagai
musik tema dan ikon dari kedua desa.
Tapi kemudian, perasaan yang begitu dekat dan akrab itu seketika menjadi
asing saat Google
Doodle menampilkan sosok penulis perempuan yang diketahui berasal dari
daerah yang sama
dengan daerah asal saya. Sosok itu diketahui bernama Sariamin Ismail,
sebuah nama sungguh
asing bagi saya. Dikatakan juga bahwa Sariamin Ismail ini merupakan
novelis perempuan
pertama di Indonesia. Rasa penasaran pun muncul, dan kemudian saya
mencari tahu siapa sosok
perempuan yang wajahnya ditampilkan oleh Google Doodle pada 31 Juli
2021. Benar saja,
Sariamin Ismail ternyata berasal dari Sinuruik, Talamau, Pasaman Barat,
Sumatera Barat; tempat
di mana saya dilahirkan. Mengetahui hal itu, Saya dan beberapa
teman-teman lalu mengunjungi
rumahnya di sebuah kampung kecil bernama Koto Panjang, di Desa Sinuruik.
Rumahnya terbilang sederhana sekali, selayaknya Rumah Usang sebagaimana
orang-orang
dikampung saya memberi nama. Lantainya terbuat dari papan, dan
dindingnya juga terbuat dari
papan. Tak ada foto-foto, majalah, koran atau buku-buku, juga tak ada
mesin tik yang
memperlihatkan sisa-sisa aktivitas kepenulisan. Menjawab rasa penasaran,
lalu kami berbincang
dengan cucunya di rumah di mana Sariamin Ismail itu dilahirkan pada 31
Juli 1909. Memang
menurut pengakuan cucunya, tak ada lagi karya-karyanya yang tertinggal
di sana, karena sudah
dibawa ke Pekanbaru.
Dari cerita cucunya, diketahui bahwa setelah
menikah di umur 30-an,
Sariamin mengikuti suaminya Ismail ke Pekanbaru. Dari pernikahan itu
Sariamin dikaruniai dua
anak perempuan bernama Suryati dan Tini. Ibu Sariamin bernama Jalizah
dan ayahnya bernama
Laur Datuk Rajo Palintang, seorang petani dan pemborong kayu-kayu
perumahan. Berkat usaha
keluarga tersebut, Sariamin Ismail pada masa itu sebenarnya cukup berada
sehingga bisa
bersekolah dan mengembangkan karirnya.
Setelah mengunjungi rumah Sariamin Ismail, pelan-pelan saya mulai
menggali dan mencari
tahu sosoknya dari beberapa sumber lain yang saya temukan. Hal-hal yang
selalu diulang adalah
bahwa Sariamin Ismail, atau yang juga dikenal dengan Selasih Seleguri,
merupakan novelis
perempuan pertama di Indonesia. Orang-orang lebih mengenalnya dengan
panggilan Selasih
Seleguri yang ia ambil dari kecintaannya dalam merawat bunga. Karyanya
yang terkenal
berjudul Kalau Tak Untung, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1933, juga
ditulis dengan nama
Selasih Seleguri. Namun anehnya, tidak begitu banyak yang mengenal sosok
beliau apalagi
pemikirannya. Barangkali namanya memang tidak sementereng semisal Rasuna
Said, Siti
Manggopoh, serta tokoh perempuan populer lainnya. Tidak aneh memang,
lantaran namanya
jarang sekali terdengar dalam pelajaran sejarah, apalagi disebut-sebut
dalam pelajaran sastra saat
saya bersekolah misalnya, atau di forum-forum diskusi sastra antar
mahasiswa. Maka dari itu,
dengan senang hati, izinkan saya memperkenalkan kembali, atau barangkali
membantu
menyegarkan ingatan tentang pokok pikiran, karya, dan aktivitas Sariamin
semasa hidupnya.
Sariamin Ismail, atau yang lebih dikenal sebagai Selasih Seleguri
memulai kegiatan
menulisnya ketika menjadi kepala sekolah di Meisjes Vervolgschool
(Sekolah Gadis) di Matur,
Sumatera Barat pada tahun 1926. Sebelum menjadi penulis, Sariamin memang
terlebih dahulu
berprofesi sebagai guru. Sariamin Ismail tercatat pernah mengajar di
Meijesvolgschool (Sekolah
Gadis) di Bengkulu. Prestasi mengajarnya yang cukup baik di Bengkulu
membuat ia ditawari
oleh inspekturnya untuk pindah ke Sumatra Barat, tepatnya ke Matur. Di
distrik kecil itu
Sariamin memegang jabatan kepala sekolah sejak April 1926 hingga Maret
1927 sebelum
kemudian dipindahkan ke Lubuk Sikaping. Setahun bertugas di sana,
Sariamin kembali
berpindah pada Maret 1928, kali ini ke Bukittinggi.
Tahun berikutnya
Sariamin kembali ke
Padang Panjang untuk mengembangkan karirnya dalam dunia kepenulisan dan
keorganisasian.
Seperti yang telah diutarakan Sariamin Ismail dalam wawancaranya di
Majalah Horison
pada tahun 1976. Ia menyebutkan bahwa dalam beberapa karangannya
seperti, Betapa
Pentingnya Anak Perempuan Bersekolah, Tak Perlukah Ditambah Sekolah
Gadis di Sumatera?,
Tugas dan Kewajiban Guru, serta Bahaya Kawin di Bawah Umur,
memperlihatkan apa yang
menjadi kegelisahan dan pokok pikiran utamanya pada saat itu. Sariamin
begitu peduli dengan
pendidikan, terutama jika menyangkut pendidikan kaum perempuan yang
menurutnya masih
sulit diakses pada saat itu.
Sebagai seorang perempuan Sariamin memang cukup beruntung ketimbang
anak-anak muda
sezamannya yang hanya disuruh melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah atau
ke ladang atau ke
sawah sambil menunggu pinangan laki-laki. Keberuntungan itu dimanfaatkan
Sariamin untuk
mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Senada dengan apa yang
disampaiakan Erlis Nur
Mujiningsih, dalam Biografi Selasih dan Karyanya pada 1995.
Di sana, Erlis Nur Mujiningsih menjelaskan tentang bagaimana minat
Sariamin Ismail dalam
dunia pendidikan. Buku itu juga mengisahkan bagaimana Sariamin
menamatkan pendidikan
Sekolah Desa pada tahun 1916, lalu melanjutkan pendidikan di Meisjes
Normaalschool (Sekolah
Guru Perempuan) di Padang Panjang pada tahun 1921 dan tamat pada tahum
1925. Selain
pendidikan formal di zaman pemerintahan Belanda, Sariamin Ismail juga
mengikuti Sekolah
Tinggi Pendidikan Zaman Jepang atau Jo Kien Sihan Gakko pada tahun 1943,
dan tamat pada
tahun 1944 di Padang Panjang. Sariamin juga pernah mengikuti pendidikan
di sekolah
Samilussalam kepunyaan Ja'afar Jambek di Bukittinggi. Sekolah inilah
yang memfasilitasi
Sariamin mendalami agama Islam dan mendorongnya menjadi pengurus
organisasi Islam yang
aktif.
Kehidupan dan kesibukan Sariamin Ismail dalam dunia pendidikan tak
menyurutkan dirinya
untuk terus menulis karya-karya sastra, sekaligus tetap aktif dalam
organisasi. Ia juga tercatat
pernah menjadi pengurus berbagai organisasi massa dan sosial. Di usianya
yang tergolong muda
Sariamin sudah menjadi Sekretaris Serikat Dagang Bengkulu bagi kaum ibu,
menjadi sekretaris
Serikat Kaum Ibu di Lubuk Sikaping, lalu menjadi ketua Jong Islamiten
Bond Dames Afdeling
(JIBDA) di Bukittinggi pada tahun 1928. Terakhir Sariamin Ismail juga
tercatat pernah menjadi
pengurus organisasi Persatuan Wredatama Republik Indonesia, Ikatan
Keluarga Sumatera
Barat, dan Wanita Islam.
Berbagai kegiatan tersebut, sudah cukup untuk memberikan gambaran betapa
Sariamin
Ismail adalah sosok perempuan yang bersemangat dalam memperjuangkan
kaumnya. Kesadaran
akan pentingnya pendidikan, khususnya bagi perempuan, begitu tertanam
kuat di kepalanya.
Bahkan, ia berupaya untuk melampaui stigma tersebut. Ia sekolah setinggi
mungkin, aktif dalam
dunia organisasi, dan menulis banyak karya sastra dan menyebarkan
ide-ide tentang persoalan
perempuan melalui tulisannya.
Pun demikian, bakat menulis Sariamin Ismail sudah diperoleh semenjak ia
berumur belasan
tahun. Nenek Sariamin kerap menceritakan kepada Sariamin kecil
dongeng-dongeng dalam
bentuk sajak, seperti: “Putri Bungsu”, “Mayang Mengurai”, dan “Gadis
Rantis”. Berkat
kebiasaan mendengar cerita tersebut, Sariamin kecil mulai memberanikan
diri untuk
menuangkan ide-idenya dalam bentuk puisi.
Selepas lulus dari sekolah guru di Padang Panjang, Sariamin memutuskan
untuk menjadi
seorang guru. Ketika menjadi guru, perlahan kesadaran kritis Sariamin
mulai bertumbuh.
Sariamin mulai merasa bahwa banyak sekali hal yang perlu dibenahi dalam
kehidupan
perempuan di zamannya. Melihat keadaan itu, Sariamin, yang pada waktu
itu baru berumur 16
tahun, mulai menulis beberapa artikel yang berkaitan dengan dunia
perempuan. Sariamin
berpikir bahwa bahwa perempuan Indonesia tidak harus selalu tinggal di
rumah. Perempuan
harus berani keluar serta mengakses pendidikan. Perempuan sudah waktunya
bergerak untuk
mencari pengetahuan dan bekal hidupnya masing-masing. Tulisan Sariamin
yang memuat ideide semacam ini pertama yang berjudul “Betapa Pentingnya
Anak Perempuan Bersekolah” ia
muat pada majalah Asjsjaraq pada tahun 1926.
Kesempatan Sariamin menulis di majalah Asjsjaraq juga tak lepas dari
dorongan
lingkungan sekitarnya, apalagi lantaran kondisi dunia kepenulisan
perempuan pada saat itu
terbilang sangat minim. Saya bisa membayangkan bahwa tidak banyak
pengarang perempuan.
Kalaupun ada, tentu jumlahnya sangat minim. Kondisi itu yang membuat
banyak pengarang lakilaki kabarnya menamai diri mereka dengan nama
perempuan. Hal itu disebabkan karena
kekosongan pengisi rubrik perempuan yang ada di majalah Asjsjaraq,
padahal majalah ini
didirikan oleh Persatuan Kaum Ibu yang seharusnya merupakan wadah bagi
perempuan. Hal ini
yang kemudian membuat Sariamin pada akhirnya mau menjadi kontributor
untuk mengisi
kekosongan tersebut. Selain menulis di Asjsjaraq, Sariamin juga menulis
di Sri Pustaka dan
majalah Bintang Hindia. Lalu kemudian Abdul Latif memperkenalkan
Sariamin pada majalah
Sunting Melayu dan Keutamaan Istri yang terbit di Medan. Sariamin juga
menulis untuk surat
kabar Persamaan yang dipimpin oleh sdr. Guska (Sutan Usman Kaim), dan
Sariamin juga giat
untuk terus menghidupkan majalah Asjsjaraq yang kemudian berganti nama
sebagai SKIS
(Serikat Kaum Ibu Sumatera).
Sariamin Ismail pada mulanya hanya menulis tentang dunia perempuan,
kemudian tentang
kondisi sosial yang ada di masa itu. Profesinya yang sebagai guru, dan
aktifnya Sariamin sebagai
kontributor pada majalah-majalah barangkali membuat dia punya kesadaran
yang kuat tentang
persoalan perempuan. Topik seputar ini memang bukan barang baru pada
masa Sariamin hidup.
Ide-ide tentang pentingnya pendidikan perempuan, penolakan terhadap
poligami, dan bahaya
pernikahan sedarah dan di bawah umur, sudah menjadi perbincangan hangat
para intelektual
khususnya intelektual perempuan, yang pada waktu itu memang diwakili
para guru. Agar lebih
jelas, barangkali saya perlu tarik mundur kebelakang agar kita bisa
melihat konteks sejarah dan
keterkaitan Sariamin mengenai ide-ide perjuangan perempuan.
Kurang lebih sekitar tahun 1900-an, dalam buku-buku sejarah dikatakan
peristiwa-peristiwa
besar mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa itu.
Pemerintah
kolonial membuat beberapa aturan di mana sistem keuangan moneter
diberlakukan, perkebunan
kopi dimonopoli, dan tentunya menyusul penarikan pajak, sistem kredit
dan pasar rakyat,
kemudian menyusul pembukaan sekolah-sekolah. Akibat dari beberapa aturan
ini, jamak
terdengar sering terjadinya pemberontakan anti pajak pada masa itu.
Namun di sisi lain,
dibukanya sekolah-sekolah pada zaman kolonial pada akhirnya membuat kaum
bangsawan dan
karyawan-karyawan pribumi Minangkabau mulai menyerap gaya hidup dan alam
pikir baru
tentang semangat kemajuan dan modernitas.
Datuk Sutan Maharadja atau juga dikenal sebagai pemompin Kelompok Young
Malay
merupakan generasi pertama yang mulai merasakan pendidikan barat di
Minangkabau. Aura
Asmaradana, yang menulis satu artikel tentang Saadah Alim yang berjudul,
Yang Terlupakan
dan Terlupakan (2021), menjelaskan dengan baik bagaimana Datuk Sutan
Maharadja beserta
kelompoknya menjadi cikal-bakal lahirnya ide-ide tentang kemajuan,
pendidikan dan persoalan
perempuan di Minangkabau. Lebih lanjut, bahwa bagi Datuk Sutan
Maharadja, inti dari
kemajuan itu adalah demokrasi, dan demokrasi merupakan esensi dari adat
Minangkabau. Maka
dari itu, salah satu visi dari Datuk Sutan Maharadja adalah
memperjuangkan pendidikan bagi
perempuan dengan mendirikan surat kabar Soenting Melajoe yang disunting
Ratna Djuita
anaknya, dan kabarnya kemudian dilanjutkan oleh Rohana Kudus.
Geliat para ulama-intelektual membangun organisasi, intitusi
sosial-edukasi dan surat kabar
mulai bermunculan. Surat kabar kemudian menjadi alat untuk bersiteru
antar sesama intelektual
dan beberapa pihak. Mereka menggunakan surat kabar dan majalah sebagai
media untuk
menyebarluaskan ide dan gagasan mengenai pembaharuan sosial, budaya dan
pandangan adat
dan keagamaan masing-masing. Lebih lanjut, sebagaimana yang telah
dipaparkan Aura
Asmaradana di dalam artikelnya, salah satu tokoh perempuan yang sangat
berpengaruh bernama
Saadah Alim mulai mendirikan majalah Soeara Perempoean. Kehadiran
majalah ini disebut-
sebut Aura sebagai gerakan feminis fase kedua di Minangkabau setelah
sebelumnya Soenting
Melajoe sebagai yang pertama.
Melalui majalah Soera Perempoean ide-ide tentang persoalan perempuan
muncul secara
lebih radikal dalam menyuarakan kebebasan bagi perempuan. Majalah ini
berupaya
mempopulerkan aliran pemikiran yang berfokus pada kesenjangan antara
adat ideal dan realitas
sosial yang terjadi. Dalam hukum adat, memang perempuan memiliki status
yang tinggi, namun
jika dilihat realitas sosialnya pada zaman itu, perempuan sebenarnya
dikungkung kebebasannya,
apalagi menyangkut soal kebebasan memperoleh pendidikan. Kondisi inilah
yang membuat
Soeara Perempoean terus menyebarkan ide-ide bahwa perempuan harus
memperoleh
pendidikan, bisa menentukan pilihan hidup, dan harus memiliki kebebasan
yang setara dengan
perempuan eropa. Singkatnya, majalah ini berupaya menentang segala jenis
pembatasan
pendidikan bagi perempuan di Minangkabau.Sampai di sini, kita bisa
melihat bagaimana
panorama pemikiran perempuan sudah mulai menjadi diskursus bagi kalangan
intelektual di
Sumatera Barat pada saat itu. Saadah Alim, sebagai tokoh perempuan
pelopor, bukannya tak ada
hubungan langsung dengan Sariamin Ismail.
Saadah Alim, selain sebagai jurnalis dan aktivis perempuan, ia juga
pernah menjadi guru di
Meisjes Normaalschool pada tahun 1918-1920 di Padang Panjang. Sekolah
ini merupakan
tempat dimana Sariamin Ismail menimba ilmu pengetahuan pada tahun-tahun
yang sama. Selain
itu, Sariamin juga aktif di majalah SKIS (Serikat Kaoem Iboe Soematera),
yang mana SKIS
sendiri berdiri sekitar tahun 1924, dengan target mengadakan kongres
yang berupaya
membicarakan kondisi perempuan Sumatera. Dalam dua hari, kongres ini
dihadiri hampir 1.000
peserta guna membicarakan beragam isu tentang perempuan, mulai dari
perempuan sebagai ibu,
sebagai pendidik, kedudukan perempuan dalam agama, dan perempuan sebagai
pusat dari
peradaban. Maka tak heran jika Sariamin Ismail punya kegelisahan yang
sama terhadap kondisi
perempuan pada zamannya. Sebagai seorang pengarang ia juga turut ambil
bagian dalam
semangat itu. Berbagai tulisan yang membicarakan persoalan perempuan,
pendidikan dan
beberapa tulisan yang ditujukan untuk mengkritik kebijaksanaan
pemerintah kolonial mulai
bermunculan.
Ambil saja contoh novel Kalau Tak Untung yang terbit pada tahun 1933.
Dalam novel
tersebut,terlihat jelas bagaimana persoalan pendidikan, stigma
pendidikan, dan pernikahan
sedarah dan di bawah umur menjadi pokok persoalan utama yang
dikemukakan. Berangkat dari
kisah seorang gadis yang bernama Rasmani, yang kemudian harus bernasib
malang karena tidak
dapat hidup bersama kekasihnya. Novel Sariamin terlihat sangat dekat
dengan kehidupan dan
bahkan cenderung subjektif. Sariamin tidak membicarakan narasi-narasi
besar melainkan hanya
cerita kegetiran sebuah keluarga. Namun, di balik itu, saya melihat
bahwa sebenarnya novel ini
merepresentasikan persoalan perempuan yang barangkali menjadi gambaran
dari realitas
perempuan semasa Sariamin hidup. Rasmani sebagai tokoh utama diciptakan
sebagai seorang
gadis yang berpendidikan dan berasal dari sebuah keluarga yang sangat
mementingkan dan
memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuannya, hal itu bisa kita
lihat pada kutipan
berikut;
“Kesoekaran hidoep jang didjalani iboe bapa si Rasmani soekarlah
bandingnja
dinegeri tempat tinggalnja itoe, tetapi pendidikan jang diberikannja
kepada
anak-anaknja mengherankan orang banjak. Ada orang jang mengatakan baik,
banjak poela jang mentjela sedjadi-djadi...” (Kalau Tak Untung, Hal:9)
Kutipan itu menggambarkan bagaimana sebuah keluarga yang mementingkan
pendidikan
bagi anak perempuannya harus menerima celaan dan stigma yang negatif
dari masyarakat,
semata karena dia menyekolahkan anak perempuannya tinggi-tinggi. Selain
keluarga Rasmani,
ada juga satu tokoh bernama Masrul yang digambarkan Sariamin sebagai
seorang laki-laki yang
mendukung majunya pendidikan bagi perempuan. Masrul menginginkan isteri
yang
berpendidikan.
Tokoh Masrul, digambarkan dalam novel itu, diminta ibunya
untuk mengawini
Aminah, anak mamaknya, yang tidak berpendidikan. Masrul juga meminta
Rasmani untuk
mengajari Aminah membaca dan menulis. Sariamin Ismail kemudian juga
menyoroti satu
persoalan yang juga tak kalah penting. Selain pendidikan perempuan,
fenomena kawin muda dan
perkawinan sedarah yang terjadi dalam keluarga di Minangkabau tak lupa
ia kemukakan.
Sariamin menunjukkan bahwa perkawinan sedarah itu tak baik bagi
keturunan, seperti terlihat
pada kutipan berikut:
“Iboe, saja beloem hendak beristeri, saja baroe ber’oemoer sembilan
belas tahoen.
Lagi poela kata orang jang pandai-pandai dalam boekoenja, ta’ baik kawin
berfamili. Atjap kali anak orang jang kawin sekaoem itoe doengoe atau
moedah
djadi gila atau ta’ sempoerna bahagian toeboehnja...” (Kalau Tak Untung,
Hal:
22)
Barangkali, ini yang menarik dari karya sastra, apalagi yang ditulis dan
dituturkan langsung
oleh penulis perempuan. Peristiwa kehidupan, sebagaimana yang dikisahkan
Sariamin dalam
novelnya tampak subjektif, selalu penuh luka, air mata, kegetiran dan
beragam jenis
ketidakadilan yang telah menjadi dasar untuknya menuturkan cerita.
Meskipun begitu, bagi saya
kisah-kisah semacam ini selalu saja memberikan gambaran dunia yang lebih
luas tentang
bagaimana posisi dan kedudukan perempuan yang subordinat dan seringkali
menjadi objek
kekerasan. Untuk kasus yang terakhir, Sariamin juga kerap menggambarkan
dalam novelnya
bagaimana kekerasan dalam ranah domestik seringkali dialami oleh
perempuan pada saat itu.
Dalam novelnya Pengaruh Keadaan (1936) misalnya, perhatikan bagaimana
kekerasan dalam
ranah keluarga itu terjadi:
"Laki-laki...tak berotak! Berani memukul perempuan, ibunya pula!
Baiklah! karena engkau tak dapat saya pukul, ada tempat berbalas!"
diambilnya sekerat kayu dan berlari kepada Yusnani...Sebelum Syafril
sampai ke
dekat adiknya, Yusnani telah kena pukul dengan sekeras kerasnya dua
kali.
Syahril menyepakkan ibu tirinya sampai terpelanting..” (Pengaruh
Keadaan,
Hal:117)
Melihat adegan yang digambarkan Sariamin Ismail ini sungguh ironi. Saya
selalu geram
melihat bagaimana laki-laki seringkali tanpa berfikir panjang menjadi
sangat kesetanan
memukuli perempuan. Meskipun tak hanya perempuan yang mengalami, namun
mayoritas yang
terjadi dari dulu hingga sekarang selalu saja korbannya adalah
perempuan. Sebenarnya ini bukan
persoalan dia perempuan atau dia laki-laki, tapi yang namanya kekerasan
dalam bentuk apapun
dan kepada siapapun tidak dapat dibenarkan.
Melalui karya sastra, Sariamin Ismail memantulkan gambaran dari
kehidupan perempuan,
yang sedari dulu seakan termajinalkan dan selalu menjadi manusia kelas
dua yang berada di
bawah dominasi laki-laki. Novelnya menjadi saksi dan bagi saya punya
daya gugahnya, yang
mampu mendorong sikap pembelaan terhadap nasib perempuan, yang akan
selalu relevan dibaca
untuk kondisi saat ini. Apalagi persoalan perempuan dalam konteks
kekinian telah menjadi
begitu kompleks, mulai dari ketidaksetaraan hak, kekerasan dalam tumah
tangga, kekerasan
seksual, perdangan perempuan dan masalah kedudukan dalam ranah
pendidikan, politik dan
kebudayaan masih saja menjadi topik yang terus jadi perbincangan aktivis
dan intelektual.
Dalam dunia pendidikan misalnya, meskipun perempuan sudah bisa mengakses
pendidikan
setinggi-tingginya, namun masih saja harus selalu menghadapi stigma
negatif dan beban ganda
yang justru memperlihatkan bahwa jurang ketimpangan itu masih ada. Masih
banyak masyarakat
patriarkal yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu punya pendidikan
tinggi. Ini tidak
terlepas dari anggapan bahwa perempuan pada akhirnya juga akan disibukan
mengurus urusanurusan domestik. Akibatnya, sebagaimana Catatan Badan
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021
menunjukkan kesenjangan memperoleh pendidikan antara laki-laki dan
perempuan sangatlah
timpang. Lebih lanjut, dari data tersebut juga memperlihatkan bahwa
kesenjangan dalam dunia
pendidikan itu masih ada.
Barangkali, masalah mendasarnya adalah bahwa keadaan masyarakat yang
cenderung
patriarkis dan tidak adanya keadilan gender sehingga membuat kesempatan
antara laki-laki dan
perempuan dalam memperoleh pendidikan menjadi tidak sama. Perempuan
selalu diposisikan
hanya sebagai ibu rumah tangga, dan laki-laki sebagai kepala keluarga
yang mengatur segalanya.
Perempuan ditempatkan hanya pada urusan kasur dan dapur, sementara
laki-laki bisa bekerja dan
mengembangkan karirnya.
Maka, belajar dari karya-karyanya Sariamin
Ismail, bahwa perjuangan
perempuan untuk memiliki kesetaraan harus menjadi perhatian semua pihak,
khususnya dalam
dunia pendidikan.
Kesetaraan dalam mengenyam pendidikan menjadi sesuatu yang teramat
penting untuk
mengubah nasib perempuan. Melalui pendidikan, perempuan bisa
meningkatkan kemampuannya
dan mampu mengambil keputusan yang baik bagi dirinya. Barangkali, juga
penting pelajaran
mengenai kesetaran gender dibuat masif dalam dunia pendidikan, sehingga
dengan pendidikan
dan kesadaran akan gender bisa mampu mentransformasi pemikiran yang ada
ditengah
masyarakat dan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang punya
perspektif berbasis gender.
Melalui Sariamin Ismail, pada akhirnya saya belajar banyak persoalan
ini. Novel-novelnya
membekas dan mendorong lahirnya empati dan sikap mawas terhadap
persoalan perempuan.
Barangkali, itu yang luar biasa dari karya sastra, apalagi karya sastra
yang ditulis dan dituturkan
langsung dari pengalaman personal seorang perempuan. Besar harapan saya,
semoga semakin
banyak lahirnya pengarang perempuan macam Sariamin Ismail, yang dengan
ketajaman pikiran
dan perasaannya yang subtil, mampu menuturkan persoalan yang dialami
perempuan di
zamannya. Barangkali, itu salah satu yang kita butuhkan sehingga
karya-karya yang yang lahir
bisa terus mendobrak dan mendorong perubahan-perubahan kearah yang lebih
baik.