Sariamin Ismail, Sastra Dan Pendidikan Perempuan - Oleh Wanda Rahmad Putra

Last Update 10 Januari 2024 dasrilsinuruik Gerak Tokoh

Sariamin Ismail, Sastra dan Pendidikan Perempuan
Oleh: Wanda Rahmad Putra


Sariamin Ismail (1990) (Sumber: wikipedia.org)
“Bagaimana kami akan membesarkan anak, kalau kami orang bodoh. Bagaimana kami akan mengurus rumah tangga yang baik, kalau kami tak tau apa-apa. Bagaimana kami bisa mengetahui keadaan-keadaan diluar negri, kalau kami tak bisa baca-tulis” (Sariamin Ismail, dalam Namaku Selasih (Dokumenter,1930 ) Sinuruik, sebagai sebuah desa bukanlah tempat yang asing bagi saya. Sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat ini adalah tempat saya tumbuh dan besar, paling tidak sampai saya SMA.

Tempat saya belajar, bermain dan melalui masa-masa remaja. Orang-orang di luar sana mungkin lebih mengenal daerah ini dengan nama Talu, memang dua daerah ini satu rumpun yang punya kaitan, namun secara administratif sesungguhnya berbeda. Tidak ada tempat yang tidak saya kenali, hampir setiap sudut desa ini saya bisa sebutkan di luar kepala. Mulai dari kampung-kampung kecil yang saling bertetangga, hamparan sawah dan perbukitan, hingga kaki dan puncak gunung Talamau yang menjadi panoramanya. Saya tahu Tuanku Sati dan Tuanku Bosa sebagai pucuak adaik dari kedua desa, saya hafal letak makam datuak dan raja-raja dan saya kenal wajah-wajah orang-orang meskipun sekedar bertegur-sapa, dan saya juga hafal lagu “Rang Talu” dan “Batang Sinuruik” sebagai musik tema dan ikon dari kedua desa. Tapi kemudian, perasaan yang begitu dekat dan akrab itu seketika menjadi asing saat Google Doodle menampilkan sosok penulis perempuan yang diketahui berasal dari daerah yang sama dengan daerah asal saya. Sosok itu diketahui bernama Sariamin Ismail, sebuah nama sungguh asing bagi saya. Dikatakan juga bahwa Sariamin Ismail ini merupakan novelis perempuan pertama di Indonesia. Rasa penasaran pun muncul, dan kemudian saya mencari tahu siapa sosok perempuan yang wajahnya ditampilkan oleh Google Doodle pada 31 Juli 2021. Benar saja, Sariamin Ismail ternyata berasal dari Sinuruik, Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat; tempat di mana saya dilahirkan. Mengetahui hal itu, Saya dan beberapa teman-teman lalu mengunjungi rumahnya di sebuah kampung kecil bernama Koto Panjang, di Desa Sinuruik. Rumahnya terbilang sederhana sekali, selayaknya Rumah Usang sebagaimana orang-orang dikampung saya memberi nama. Lantainya terbuat dari papan, dan dindingnya juga terbuat dari papan. Tak ada foto-foto, majalah, koran atau buku-buku, juga tak ada mesin tik yang memperlihatkan sisa-sisa aktivitas kepenulisan. Menjawab rasa penasaran, lalu kami berbincang dengan cucunya di rumah di mana Sariamin Ismail itu dilahirkan pada 31 Juli 1909. Memang menurut pengakuan cucunya, tak ada lagi karya-karyanya yang tertinggal di sana, karena sudah dibawa ke Pekanbaru.

Dari cerita cucunya, diketahui bahwa setelah menikah di umur 30-an, Sariamin mengikuti suaminya Ismail ke Pekanbaru. Dari pernikahan itu Sariamin dikaruniai dua anak perempuan bernama Suryati dan Tini. Ibu Sariamin bernama Jalizah dan ayahnya bernama Laur Datuk Rajo Palintang, seorang petani dan pemborong kayu-kayu perumahan. Berkat usaha keluarga tersebut, Sariamin Ismail pada masa itu sebenarnya cukup berada sehingga bisa bersekolah dan mengembangkan karirnya. Setelah mengunjungi rumah Sariamin Ismail, pelan-pelan saya mulai menggali dan mencari tahu sosoknya dari beberapa sumber lain yang saya temukan. Hal-hal yang selalu diulang adalah bahwa Sariamin Ismail, atau yang juga dikenal dengan Selasih Seleguri, merupakan novelis perempuan pertama di Indonesia. Orang-orang lebih mengenalnya dengan panggilan Selasih Seleguri yang ia ambil dari kecintaannya dalam merawat bunga. Karyanya yang terkenal berjudul Kalau Tak Untung, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1933, juga ditulis dengan nama Selasih Seleguri. Namun anehnya, tidak begitu banyak yang mengenal sosok beliau apalagi pemikirannya. Barangkali namanya memang tidak sementereng semisal Rasuna Said, Siti Manggopoh, serta tokoh perempuan populer lainnya. Tidak aneh memang, lantaran namanya jarang sekali terdengar dalam pelajaran sejarah, apalagi disebut-sebut dalam pelajaran sastra saat saya bersekolah misalnya, atau di forum-forum diskusi sastra antar mahasiswa. Maka dari itu, dengan senang hati, izinkan saya memperkenalkan kembali, atau barangkali membantu menyegarkan ingatan tentang pokok pikiran, karya, dan aktivitas Sariamin semasa hidupnya. Sariamin Ismail, atau yang lebih dikenal sebagai Selasih Seleguri memulai kegiatan menulisnya ketika menjadi kepala sekolah di Meisjes Vervolgschool (Sekolah Gadis) di Matur, Sumatera Barat pada tahun 1926. Sebelum menjadi penulis, Sariamin memang terlebih dahulu berprofesi sebagai guru. Sariamin Ismail tercatat pernah mengajar di Meijesvolgschool (Sekolah Gadis) di Bengkulu. Prestasi mengajarnya yang cukup baik di Bengkulu membuat ia ditawari oleh inspekturnya untuk pindah ke Sumatra Barat, tepatnya ke Matur. Di distrik kecil itu Sariamin memegang jabatan kepala sekolah sejak April 1926 hingga Maret 1927 sebelum kemudian dipindahkan ke Lubuk Sikaping. Setahun bertugas di sana, Sariamin kembali berpindah pada Maret 1928, kali ini ke Bukittinggi.

Tahun berikutnya Sariamin kembali ke Padang Panjang untuk mengembangkan karirnya dalam dunia kepenulisan dan keorganisasian. Seperti yang telah diutarakan Sariamin Ismail dalam wawancaranya di Majalah Horison pada tahun 1976. Ia menyebutkan bahwa dalam beberapa karangannya seperti, Betapa Pentingnya Anak Perempuan Bersekolah, Tak Perlukah Ditambah Sekolah Gadis di Sumatera?, Tugas dan Kewajiban Guru, serta Bahaya Kawin di Bawah Umur, memperlihatkan apa yang menjadi kegelisahan dan pokok pikiran utamanya pada saat itu. Sariamin begitu peduli dengan pendidikan, terutama jika menyangkut pendidikan kaum perempuan yang menurutnya masih sulit diakses pada saat itu. Sebagai seorang perempuan Sariamin memang cukup beruntung ketimbang anak-anak muda sezamannya yang hanya disuruh melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah atau ke ladang atau ke sawah sambil menunggu pinangan laki-laki. Keberuntungan itu dimanfaatkan Sariamin untuk mengakses pendidikan setinggi-tingginya. Senada dengan apa yang disampaiakan Erlis Nur Mujiningsih, dalam Biografi Selasih dan Karyanya pada 1995. Di sana, Erlis Nur Mujiningsih menjelaskan tentang bagaimana minat Sariamin Ismail dalam dunia pendidikan. Buku itu juga mengisahkan bagaimana Sariamin menamatkan pendidikan Sekolah Desa pada tahun 1916, lalu melanjutkan pendidikan di Meisjes Normaalschool (Sekolah Guru Perempuan) di Padang Panjang pada tahun 1921 dan tamat pada tahum 1925. Selain pendidikan formal di zaman pemerintahan Belanda, Sariamin Ismail juga mengikuti Sekolah Tinggi Pendidikan Zaman Jepang atau Jo Kien Sihan Gakko pada tahun 1943, dan tamat pada tahun 1944 di Padang Panjang. Sariamin juga pernah mengikuti pendidikan di sekolah Samilussalam kepunyaan Ja'afar Jambek di Bukittinggi. Sekolah inilah yang memfasilitasi Sariamin mendalami agama Islam dan mendorongnya menjadi pengurus organisasi Islam yang aktif. Kehidupan dan kesibukan Sariamin Ismail dalam dunia pendidikan tak menyurutkan dirinya untuk terus menulis karya-karya sastra, sekaligus tetap aktif dalam organisasi. Ia juga tercatat pernah menjadi pengurus berbagai organisasi massa dan sosial. Di usianya yang tergolong muda Sariamin sudah menjadi Sekretaris Serikat Dagang Bengkulu bagi kaum ibu, menjadi sekretaris Serikat Kaum Ibu di Lubuk Sikaping, lalu menjadi ketua Jong Islamiten Bond Dames Afdeling (JIBDA) di Bukittinggi pada tahun 1928. Terakhir Sariamin Ismail juga tercatat pernah menjadi pengurus organisasi Persatuan Wredatama Republik Indonesia, Ikatan Keluarga Sumatera Barat, dan Wanita Islam.

Berbagai kegiatan tersebut, sudah cukup untuk memberikan gambaran betapa Sariamin Ismail adalah sosok perempuan yang bersemangat dalam memperjuangkan kaumnya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan, khususnya bagi perempuan, begitu tertanam kuat di kepalanya. Bahkan, ia berupaya untuk melampaui stigma tersebut. Ia sekolah setinggi mungkin, aktif dalam dunia organisasi, dan menulis banyak karya sastra dan menyebarkan ide-ide tentang persoalan perempuan melalui tulisannya. Pun demikian, bakat menulis Sariamin Ismail sudah diperoleh semenjak ia berumur belasan tahun. Nenek Sariamin kerap menceritakan kepada Sariamin kecil dongeng-dongeng dalam bentuk sajak, seperti: “Putri Bungsu”, “Mayang Mengurai”, dan “Gadis Rantis”. Berkat kebiasaan mendengar cerita tersebut, Sariamin kecil mulai memberanikan diri untuk menuangkan ide-idenya dalam bentuk puisi. Selepas lulus dari sekolah guru di Padang Panjang, Sariamin memutuskan untuk menjadi seorang guru. Ketika menjadi guru, perlahan kesadaran kritis Sariamin mulai bertumbuh. Sariamin mulai merasa bahwa banyak sekali hal yang perlu dibenahi dalam kehidupan perempuan di zamannya. Melihat keadaan itu, Sariamin, yang pada waktu itu baru berumur 16 tahun, mulai menulis beberapa artikel yang berkaitan dengan dunia perempuan. Sariamin berpikir bahwa bahwa perempuan Indonesia tidak harus selalu tinggal di rumah. Perempuan harus berani keluar serta mengakses pendidikan. Perempuan sudah waktunya bergerak untuk mencari pengetahuan dan bekal hidupnya masing-masing. Tulisan Sariamin yang memuat ideide semacam ini pertama yang berjudul “Betapa Pentingnya Anak Perempuan Bersekolah” ia muat pada majalah Asjsjaraq pada tahun 1926. Kesempatan Sariamin menulis di majalah Asjsjaraq juga tak lepas dari dorongan lingkungan sekitarnya, apalagi lantaran kondisi dunia kepenulisan perempuan pada saat itu terbilang sangat minim. Saya bisa membayangkan bahwa tidak banyak pengarang perempuan. Kalaupun ada, tentu jumlahnya sangat minim. Kondisi itu yang membuat banyak pengarang lakilaki kabarnya menamai diri mereka dengan nama perempuan. Hal itu disebabkan karena kekosongan pengisi rubrik perempuan yang ada di majalah Asjsjaraq, padahal majalah ini didirikan oleh Persatuan Kaum Ibu yang seharusnya merupakan wadah bagi perempuan. Hal ini yang kemudian membuat Sariamin pada akhirnya mau menjadi kontributor untuk mengisi kekosongan tersebut. Selain menulis di Asjsjaraq, Sariamin juga menulis di Sri Pustaka dan majalah Bintang Hindia. Lalu kemudian Abdul Latif memperkenalkan Sariamin pada majalah Sunting Melayu dan Keutamaan Istri yang terbit di Medan. Sariamin juga menulis untuk surat kabar Persamaan yang dipimpin oleh sdr. Guska (Sutan Usman Kaim), dan Sariamin juga giat untuk terus menghidupkan majalah Asjsjaraq yang kemudian berganti nama sebagai SKIS (Serikat Kaum Ibu Sumatera).

Sariamin Ismail pada mulanya hanya menulis tentang dunia perempuan, kemudian tentang kondisi sosial yang ada di masa itu. Profesinya yang sebagai guru, dan aktifnya Sariamin sebagai kontributor pada majalah-majalah barangkali membuat dia punya kesadaran yang kuat tentang persoalan perempuan. Topik seputar ini memang bukan barang baru pada masa Sariamin hidup. Ide-ide tentang pentingnya pendidikan perempuan, penolakan terhadap poligami, dan bahaya pernikahan sedarah dan di bawah umur, sudah menjadi perbincangan hangat para intelektual khususnya intelektual perempuan, yang pada waktu itu memang diwakili para guru. Agar lebih jelas, barangkali saya perlu tarik mundur kebelakang agar kita bisa melihat konteks sejarah dan keterkaitan Sariamin mengenai ide-ide perjuangan perempuan. Kurang lebih sekitar tahun 1900-an, dalam buku-buku sejarah dikatakan peristiwa-peristiwa besar mulai mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau pada masa itu. Pemerintah kolonial membuat beberapa aturan di mana sistem keuangan moneter diberlakukan, perkebunan kopi dimonopoli, dan tentunya menyusul penarikan pajak, sistem kredit dan pasar rakyat, kemudian menyusul pembukaan sekolah-sekolah. Akibat dari beberapa aturan ini, jamak terdengar sering terjadinya pemberontakan anti pajak pada masa itu. Namun di sisi lain, dibukanya sekolah-sekolah pada zaman kolonial pada akhirnya membuat kaum bangsawan dan karyawan-karyawan pribumi Minangkabau mulai menyerap gaya hidup dan alam pikir baru tentang semangat kemajuan dan modernitas. Datuk Sutan Maharadja atau juga dikenal sebagai pemompin Kelompok Young Malay merupakan generasi pertama yang mulai merasakan pendidikan barat di Minangkabau. Aura Asmaradana, yang menulis satu artikel tentang Saadah Alim yang berjudul, Yang Terlupakan dan Terlupakan (2021), menjelaskan dengan baik bagaimana Datuk Sutan Maharadja beserta kelompoknya menjadi cikal-bakal lahirnya ide-ide tentang kemajuan, pendidikan dan persoalan perempuan di Minangkabau. Lebih lanjut, bahwa bagi Datuk Sutan Maharadja, inti dari kemajuan itu adalah demokrasi, dan demokrasi merupakan esensi dari adat Minangkabau. Maka dari itu, salah satu visi dari Datuk Sutan Maharadja adalah memperjuangkan pendidikan bagi perempuan dengan mendirikan surat kabar Soenting Melajoe yang disunting Ratna Djuita anaknya, dan kabarnya kemudian dilanjutkan oleh Rohana Kudus. Geliat para ulama-intelektual membangun organisasi, intitusi sosial-edukasi dan surat kabar mulai bermunculan. Surat kabar kemudian menjadi alat untuk bersiteru antar sesama intelektual dan beberapa pihak. Mereka menggunakan surat kabar dan majalah sebagai media untuk menyebarluaskan ide dan gagasan mengenai pembaharuan sosial, budaya dan pandangan adat dan keagamaan masing-masing. Lebih lanjut, sebagaimana yang telah dipaparkan Aura Asmaradana di dalam artikelnya, salah satu tokoh perempuan yang sangat berpengaruh bernama Saadah Alim mulai mendirikan majalah Soeara Perempoean. Kehadiran majalah ini disebut- sebut Aura sebagai gerakan feminis fase kedua di Minangkabau setelah sebelumnya Soenting Melajoe sebagai yang pertama.

Melalui majalah Soera Perempoean ide-ide tentang persoalan perempuan muncul secara lebih radikal dalam menyuarakan kebebasan bagi perempuan. Majalah ini berupaya mempopulerkan aliran pemikiran yang berfokus pada kesenjangan antara adat ideal dan realitas sosial yang terjadi. Dalam hukum adat, memang perempuan memiliki status yang tinggi, namun jika dilihat realitas sosialnya pada zaman itu, perempuan sebenarnya dikungkung kebebasannya, apalagi menyangkut soal kebebasan memperoleh pendidikan. Kondisi inilah yang membuat Soeara Perempoean terus menyebarkan ide-ide bahwa perempuan harus memperoleh pendidikan, bisa menentukan pilihan hidup, dan harus memiliki kebebasan yang setara dengan perempuan eropa. Singkatnya, majalah ini berupaya menentang segala jenis pembatasan pendidikan bagi perempuan di Minangkabau.Sampai di sini, kita bisa melihat bagaimana panorama pemikiran perempuan sudah mulai menjadi diskursus bagi kalangan intelektual di Sumatera Barat pada saat itu. Saadah Alim, sebagai tokoh perempuan pelopor, bukannya tak ada hubungan langsung dengan Sariamin Ismail. Saadah Alim, selain sebagai jurnalis dan aktivis perempuan, ia juga pernah menjadi guru di Meisjes Normaalschool pada tahun 1918-1920 di Padang Panjang. Sekolah ini merupakan tempat dimana Sariamin Ismail menimba ilmu pengetahuan pada tahun-tahun yang sama. Selain itu, Sariamin juga aktif di majalah SKIS (Serikat Kaoem Iboe Soematera), yang mana SKIS sendiri berdiri sekitar tahun 1924, dengan target mengadakan kongres yang berupaya membicarakan kondisi perempuan Sumatera. Dalam dua hari, kongres ini dihadiri hampir 1.000 peserta guna membicarakan beragam isu tentang perempuan, mulai dari perempuan sebagai ibu, sebagai pendidik, kedudukan perempuan dalam agama, dan perempuan sebagai pusat dari peradaban. Maka tak heran jika Sariamin Ismail punya kegelisahan yang sama terhadap kondisi perempuan pada zamannya. Sebagai seorang pengarang ia juga turut ambil bagian dalam semangat itu. Berbagai tulisan yang membicarakan persoalan perempuan, pendidikan dan beberapa tulisan yang ditujukan untuk mengkritik kebijaksanaan pemerintah kolonial mulai bermunculan. Ambil saja contoh novel Kalau Tak Untung yang terbit pada tahun 1933. Dalam novel tersebut,terlihat jelas bagaimana persoalan pendidikan, stigma pendidikan, dan pernikahan sedarah dan di bawah umur menjadi pokok persoalan utama yang dikemukakan. Berangkat dari kisah seorang gadis yang bernama Rasmani, yang kemudian harus bernasib malang karena tidak dapat hidup bersama kekasihnya. Novel Sariamin terlihat sangat dekat dengan kehidupan dan bahkan cenderung subjektif. Sariamin tidak membicarakan narasi-narasi besar melainkan hanya cerita kegetiran sebuah keluarga. Namun, di balik itu, saya melihat bahwa sebenarnya novel ini merepresentasikan persoalan perempuan yang barangkali menjadi gambaran dari realitas perempuan semasa Sariamin hidup. Rasmani sebagai tokoh utama diciptakan sebagai seorang gadis yang berpendidikan dan berasal dari sebuah keluarga yang sangat mementingkan dan memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuannya, hal itu bisa kita lihat pada kutipan berikut; “Kesoekaran hidoep jang didjalani iboe bapa si Rasmani soekarlah bandingnja dinegeri tempat tinggalnja itoe, tetapi pendidikan jang diberikannja kepada anak-anaknja mengherankan orang banjak. Ada orang jang mengatakan baik, banjak poela jang mentjela sedjadi-djadi...” (Kalau Tak Untung, Hal:9) Kutipan itu menggambarkan bagaimana sebuah keluarga yang mementingkan pendidikan bagi anak perempuannya harus menerima celaan dan stigma yang negatif dari masyarakat, semata karena dia menyekolahkan anak perempuannya tinggi-tinggi. Selain keluarga Rasmani, ada juga satu tokoh bernama Masrul yang digambarkan Sariamin sebagai seorang laki-laki yang mendukung majunya pendidikan bagi perempuan. Masrul menginginkan isteri yang berpendidikan.

Tokoh Masrul, digambarkan dalam novel itu, diminta ibunya untuk mengawini Aminah, anak mamaknya, yang tidak berpendidikan. Masrul juga meminta Rasmani untuk mengajari Aminah membaca dan menulis. Sariamin Ismail kemudian juga menyoroti satu persoalan yang juga tak kalah penting. Selain pendidikan perempuan, fenomena kawin muda dan perkawinan sedarah yang terjadi dalam keluarga di Minangkabau tak lupa ia kemukakan. Sariamin menunjukkan bahwa perkawinan sedarah itu tak baik bagi keturunan, seperti terlihat pada kutipan berikut: “Iboe, saja beloem hendak beristeri, saja baroe ber’oemoer sembilan belas tahoen. Lagi poela kata orang jang pandai-pandai dalam boekoenja, ta’ baik kawin berfamili. Atjap kali anak orang jang kawin sekaoem itoe doengoe atau moedah djadi gila atau ta’ sempoerna bahagian toeboehnja...” (Kalau Tak Untung, Hal: 22) Barangkali, ini yang menarik dari karya sastra, apalagi yang ditulis dan dituturkan langsung oleh penulis perempuan. Peristiwa kehidupan, sebagaimana yang dikisahkan Sariamin dalam novelnya tampak subjektif, selalu penuh luka, air mata, kegetiran dan beragam jenis ketidakadilan yang telah menjadi dasar untuknya menuturkan cerita. Meskipun begitu, bagi saya kisah-kisah semacam ini selalu saja memberikan gambaran dunia yang lebih luas tentang bagaimana posisi dan kedudukan perempuan yang subordinat dan seringkali menjadi objek kekerasan. Untuk kasus yang terakhir, Sariamin juga kerap menggambarkan dalam novelnya bagaimana kekerasan dalam ranah domestik seringkali dialami oleh perempuan pada saat itu. Dalam novelnya Pengaruh Keadaan (1936) misalnya, perhatikan bagaimana kekerasan dalam ranah keluarga itu terjadi: "Laki-laki...tak berotak! Berani memukul perempuan, ibunya pula! Baiklah! karena engkau tak dapat saya pukul, ada tempat berbalas!" diambilnya sekerat kayu dan berlari kepada Yusnani...Sebelum Syafril sampai ke dekat adiknya, Yusnani telah kena pukul dengan sekeras kerasnya dua kali. Syahril menyepakkan ibu tirinya sampai terpelanting..” (Pengaruh Keadaan, Hal:117) Melihat adegan yang digambarkan Sariamin Ismail ini sungguh ironi. Saya selalu geram melihat bagaimana laki-laki seringkali tanpa berfikir panjang menjadi sangat kesetanan memukuli perempuan. Meskipun tak hanya perempuan yang mengalami, namun mayoritas yang terjadi dari dulu hingga sekarang selalu saja korbannya adalah perempuan. Sebenarnya ini bukan persoalan dia perempuan atau dia laki-laki, tapi yang namanya kekerasan dalam bentuk apapun dan kepada siapapun tidak dapat dibenarkan. Melalui karya sastra, Sariamin Ismail memantulkan gambaran dari kehidupan perempuan, yang sedari dulu seakan termajinalkan dan selalu menjadi manusia kelas dua yang berada di bawah dominasi laki-laki. Novelnya menjadi saksi dan bagi saya punya daya gugahnya, yang mampu mendorong sikap pembelaan terhadap nasib perempuan, yang akan selalu relevan dibaca untuk kondisi saat ini. Apalagi persoalan perempuan dalam konteks kekinian telah menjadi begitu kompleks, mulai dari ketidaksetaraan hak, kekerasan dalam tumah tangga, kekerasan seksual, perdangan perempuan dan masalah kedudukan dalam ranah pendidikan, politik dan kebudayaan masih saja menjadi topik yang terus jadi perbincangan aktivis dan intelektual. Dalam dunia pendidikan misalnya, meskipun perempuan sudah bisa mengakses pendidikan setinggi-tingginya, namun masih saja harus selalu menghadapi stigma negatif dan beban ganda yang justru memperlihatkan bahwa jurang ketimpangan itu masih ada. Masih banyak masyarakat patriarkal yang menganggap bahwa perempuan tidak perlu punya pendidikan tinggi. Ini tidak terlepas dari anggapan bahwa perempuan pada akhirnya juga akan disibukan mengurus urusanurusan domestik. Akibatnya, sebagaimana Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 menunjukkan kesenjangan memperoleh pendidikan antara laki-laki dan perempuan sangatlah timpang. Lebih lanjut, dari data tersebut juga memperlihatkan bahwa kesenjangan dalam dunia pendidikan itu masih ada. Barangkali, masalah mendasarnya adalah bahwa keadaan masyarakat yang cenderung patriarkis dan tidak adanya keadilan gender sehingga membuat kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan menjadi tidak sama. Perempuan selalu diposisikan hanya sebagai ibu rumah tangga, dan laki-laki sebagai kepala keluarga yang mengatur segalanya. Perempuan ditempatkan hanya pada urusan kasur dan dapur, sementara laki-laki bisa bekerja dan mengembangkan karirnya.

Maka, belajar dari karya-karyanya Sariamin Ismail, bahwa perjuangan perempuan untuk memiliki kesetaraan harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya dalam dunia pendidikan. Kesetaraan dalam mengenyam pendidikan menjadi sesuatu yang teramat penting untuk mengubah nasib perempuan. Melalui pendidikan, perempuan bisa meningkatkan kemampuannya dan mampu mengambil keputusan yang baik bagi dirinya. Barangkali, juga penting pelajaran mengenai kesetaran gender dibuat masif dalam dunia pendidikan, sehingga dengan pendidikan dan kesadaran akan gender bisa mampu mentransformasi pemikiran yang ada ditengah masyarakat dan mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang punya perspektif berbasis gender. Melalui Sariamin Ismail, pada akhirnya saya belajar banyak persoalan ini. Novel-novelnya membekas dan mendorong lahirnya empati dan sikap mawas terhadap persoalan perempuan. Barangkali, itu yang luar biasa dari karya sastra, apalagi karya sastra yang ditulis dan dituturkan langsung dari pengalaman personal seorang perempuan. Besar harapan saya, semoga semakin banyak lahirnya pengarang perempuan macam Sariamin Ismail, yang dengan ketajaman pikiran dan perasaannya yang subtil, mampu menuturkan persoalan yang dialami perempuan di zamannya. Barangkali, itu salah satu yang kita butuhkan sehingga karya-karya yang yang lahir bisa terus mendobrak dan mendorong perubahan-perubahan kearah yang lebih baik.