Harmoni Dalam Perbedaan_Sebuah Pelajaran Dari Alam Takambang Jadi Guru

23 April 2025 dasrilsinuruik Gerak Falsafah


GerakFalsafah_Falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" bukan hanya mengajarkan manusia untuk memetik pelajaran dari alam saja, tetapi juga mengajak mereka memahami bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang tidak perlu ditakuti, apalagi dihilangkan. Alam menunjukkan dengan begitu indah bahwa setiap unsur yang berbeda justru saling mengisi dan menciptakan keseimbangan yang utuh. Di sinilah letak kebijaksanaan Minangkabau merangkul perbedaan sebagai sumber kekuatan dan bukan sumber pertentangan.

Alam Sebagai Simfoni Perbedaan

Ketika kita menatap alam Minangkabau yang luas dan hijau, kita menyaksikan perpaduan elemen-elemen yang saling bertolak belakang namun hidup berdampingan: gunung yang tinggi menjulang, lembah yang dalam dan subur; matahari yang menyengat, awan yang meneduhkan; air yang terus mengalir, batu yang kokoh menahan. Semua itu tidak saling meniadakan, tetapi saling menegaskan eksistensi masing-masing dalam sebuah harmoni kosmis.

Air, misalnya, tidak memilih jalan lurus dan keras seperti batu, tapi ia mampu menemukan celah dan tetap bergerak tanpa memaksa. Bukit tidak merendahkan lembah, dan lembah tidak iri pada bukit nan tegak berdiri, keduanya saling melengkapi dalam membentuk lanskap yang indah. Pohon menerima panas matahari, tetapi tidak membiarkannya menyengat siapa pun yang berteduh di bawahnya. Ia menyerap, menyaring, dan menghadirkan kesejukan. Semua ini menjadi pelajaran mendalam bagi manusia untuk hidup berdampingan dalam perbedaan.

Masyarakat Adat sebagai Miniatur Alam

Dalam kehidupan sosial Minangkabau, prinsip harmoni dalam perbedaan ini juga tercermin dengan kuat. Masyarakat hidup dalam struktur yang menghargai fungsi dan kedudukan masing-masing individu. Seorang penghulu, misalnya, adalah tokoh utama dalam tatanan adat, tetapi ia tidak bisa menjalankan fungsinya tanpa dukungan dari dubalang sebagai pelindung, alim ulama sebagai penuntun spiritual, dan masyarakat sebagai landasan. Semua unsur ini bersinergi dalam sebuah sistem yang disebut tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan, dimana tiga pilar yang saling menopang dan tidak bisa dipisahkan.

Pepatah Minang “saciok bak ayam, sadanciang bak basi” menjadi prinsip hidup yang menekankan pentingnya kebersamaan dan penghargaan terhadap perbedaan. Artinya, meskipun terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan, masyarakat diajarkan untuk menyelesaikannya dalam semangat kebersamaan dan dengan batas-batas yang bijaksana. Seperti ayam yang makan bersama tanpa saling berebut, dan seperti besi yang ditempa meskipun saling berbenturan, tapi tidak sampai saling merusak.

Perbedaan sebagai Sumber Keseimbangan

Dalam falsafah ini, perbedaan tidak dilihat sebagai sumber konflik, melainkan sebagai mekanisme alamiah untuk menjaga keseimbangan. Dalam dunia tumbuhan, tidak semuanya pohon yang menghasilkan buah, ada yang hanya berfungsi sebagai peneduh, penguat tanah atau penyeimbang ekosistem. Begitu pula dalam bermasyarakat, tidak semua orang menjadi pemimpin dan tidak semuanya pula menjadi pengikut. Namun setiap peran adalah penting dan harus dihargai.

Keberagaman juga dipandang sebagai sumber kearifan dalam mengambil keputusan. Dalam musyawarah adat, pendapat yang berbeda dihimpun dan diproses layaknya air yang mengalir dari berbagai anak sungai menuju satu muara. Setiap suara memiliki nilai, dan yang diambil adalah yang terbaik dari semuanya. Ini adalah cerminan dari prinsip alam yang inklusif dan dinamis. Tak obahnya pula seperti pepatah "Basilang kayu dalam tunggu, disinan api mangko hiduik dan disinan nasi mangko masak" 

Harmoni yang Relevan di Era Modern

Nilai harmoni dalam yang terkandung dalam "Alam Takambang Jadi Guru" sangat relevan di tengah dunia modern yang penuh polarisasi. Ketika banyak masyarakat tergelincir dalam fanatisme dan intoleransi, falsafah Minangkabau justru menawarkan pendekatan yang lembut namun kuat. membangun persatuan bukan dengan menyamakan segalanya, tetapi dengan menyelaraskan perbedaan.

Dengan mengamalkan ajaran ini, masyarakat dapat menciptakan lingkungan sosial yang inklusif dan saling menghargai, di mana konflik bisa diubah menjadi dialog, dan perbedaan bisa menjadi sumber inovasi dan kebijaksanaan bersama.

Falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" mengajarkan kita bahwa kehidupan akan indah bila dijalani seperti simfoni alam nan penuh warna, beragam suara, namun tetap satu irama. Dalam alam, tidak ada yang sia-sia. Semua memiliki tempat, fungsi, dan keunikan. Begitu pula dalam masyarakat, jika semua unsur dapat memahami perannya dan menghargai peran orang lain, maka terciptalah keseimbangan sosial yang menyejukkan.(DS)