GerakFalsafah_Falsafah "Alam Takambang
Jadi Guru" bukan hanya mengajarkan manusia untuk memetik pelajaran
dari alam saja, tetapi juga mengajak mereka memahami bahwa keberagaman adalah
keniscayaan yang tidak perlu ditakuti, apalagi dihilangkan. Alam menunjukkan
dengan begitu indah bahwa setiap unsur yang berbeda justru saling mengisi dan
menciptakan keseimbangan yang utuh. Di sinilah letak kebijaksanaan Minangkabau merangkul
perbedaan sebagai sumber kekuatan dan bukan sumber pertentangan.
Alam
Sebagai Simfoni Perbedaan
Ketika kita menatap alam Minangkabau
yang luas dan hijau, kita menyaksikan perpaduan elemen-elemen yang saling
bertolak belakang namun hidup berdampingan: gunung yang tinggi menjulang,
lembah yang dalam dan subur; matahari yang menyengat, awan yang meneduhkan; air
yang terus mengalir, batu yang kokoh menahan. Semua itu tidak saling
meniadakan, tetapi saling menegaskan eksistensi masing-masing dalam sebuah harmoni
kosmis.
Air, misalnya, tidak memilih jalan
lurus dan keras seperti batu, tapi ia mampu menemukan celah dan tetap bergerak
tanpa memaksa. Bukit tidak merendahkan lembah, dan lembah tidak iri pada bukit nan tegak berdiri, keduanya saling melengkapi dalam membentuk lanskap yang indah.
Pohon menerima panas matahari, tetapi tidak membiarkannya menyengat siapa pun
yang berteduh di bawahnya. Ia menyerap, menyaring, dan menghadirkan kesejukan.
Semua ini menjadi pelajaran mendalam bagi manusia untuk hidup berdampingan dalam
perbedaan.
Masyarakat
Adat sebagai Miniatur Alam
Dalam kehidupan sosial Minangkabau,
prinsip harmoni dalam perbedaan ini juga tercermin dengan kuat. Masyarakat
hidup dalam struktur yang menghargai fungsi dan kedudukan masing-masing
individu. Seorang penghulu, misalnya, adalah tokoh utama dalam tatanan adat,
tetapi ia tidak bisa menjalankan fungsinya tanpa dukungan dari dubalang
sebagai pelindung, alim ulama sebagai penuntun spiritual, dan masyarakat
sebagai landasan. Semua unsur ini bersinergi dalam sebuah sistem yang disebut tali
tigo sapilin, tungku tigo sajarangan, dimana tiga pilar yang saling menopang dan
tidak bisa dipisahkan.
Pepatah Minang “saciok bak ayam,
sadanciang bak basi” menjadi prinsip hidup yang menekankan pentingnya
kebersamaan dan penghargaan terhadap perbedaan. Artinya, meskipun terdapat
perbedaan pendapat atau kepentingan, masyarakat diajarkan untuk
menyelesaikannya dalam semangat kebersamaan dan dengan batas-batas yang
bijaksana. Seperti ayam yang makan bersama tanpa saling berebut, dan seperti
besi yang ditempa meskipun saling berbenturan, tapi tidak sampai saling
merusak.
Perbedaan
sebagai Sumber Keseimbangan
Dalam falsafah ini, perbedaan tidak
dilihat sebagai sumber konflik, melainkan sebagai mekanisme alamiah untuk
menjaga keseimbangan. Dalam dunia tumbuhan, tidak semuanya pohon yang menghasilkan
buah, ada yang hanya berfungsi sebagai peneduh, penguat tanah atau penyeimbang
ekosistem. Begitu pula dalam bermasyarakat, tidak semua orang menjadi pemimpin dan tidak semuanya pula menjadi pengikut. Namun setiap peran adalah penting dan harus
dihargai.
Keberagaman juga dipandang sebagai sumber kearifan dalam mengambil keputusan. Dalam musyawarah adat, pendapat yang berbeda dihimpun dan diproses layaknya air yang mengalir dari berbagai anak sungai menuju satu muara. Setiap suara memiliki nilai, dan yang diambil adalah yang terbaik dari semuanya. Ini adalah cerminan dari prinsip alam yang inklusif dan dinamis. Tak obahnya pula seperti pepatah "Basilang kayu dalam tunggu, disinan api mangko hiduik dan disinan nasi mangko masak"
Harmoni
yang Relevan di Era Modern
Nilai harmoni dalam yang terkandung dalam "Alam Takambang Jadi Guru" sangat relevan di
tengah dunia modern yang penuh polarisasi. Ketika banyak masyarakat tergelincir
dalam fanatisme dan intoleransi, falsafah Minangkabau justru menawarkan
pendekatan yang lembut namun kuat. membangun persatuan bukan dengan menyamakan
segalanya, tetapi dengan menyelaraskan perbedaan.
Dengan mengamalkan ajaran ini,
masyarakat dapat menciptakan lingkungan sosial yang inklusif dan saling
menghargai, di mana konflik bisa diubah menjadi dialog, dan perbedaan bisa
menjadi sumber inovasi dan kebijaksanaan bersama.
Falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" mengajarkan kita bahwa kehidupan akan indah bila dijalani seperti simfoni alam nan penuh warna, beragam suara, namun tetap satu irama. Dalam alam, tidak ada yang sia-sia. Semua memiliki tempat, fungsi, dan keunikan. Begitu pula dalam masyarakat, jika semua unsur dapat memahami perannya dan menghargai peran orang lain, maka terciptalah keseimbangan sosial yang menyejukkan.(DS)